Add caption |
Frog into Princess mungkin bisa kita sebut Pangeran Katak?
Adalah buku tentang NLP yang terbit tahun 1979 atau 4 tahun setelah kedua penemunya:
Richard Bandler dan John Grinder menerbitkan buku pertama mereka, The Structure
of Magic I: A Book About Language and Therapy.
Selama bertahun-tahun saya mempertanyakan (dalam hati
saja sih) alasan Bandler dan Grinder memberi judul untuk buku mereka. Buku
tentang neuro (sistem pikiran manusia), linguistic (sistem atau tata bahasa
yang hanya dikuasai oleh manusia pula) dan programming (cetak biru kita
masing-masing yang menuntun perilaku dan cara merespons terhadap “dunia”,
judulnya kog sama dengan buku dongeng. Apakah NLP dapat disamakan dengan mitos?
Baru sekarang saya memahami maksud mereka. Pemahaman saya bisa saja benar dan
atau salah, tapi itu tidak penting. Pemahaman saya berdasarkan programming saya
yang unik, tidak harus sama dengan programming orang lain, bahkan kedua penulis
buku ini. Pesan yang saya dapatkan dari kedua pencipta NLP melalui buku ini
adalah: perubahan dengan NLP cepat dan mudah, secepat dan semudah sebuah
ciuman.
Frog into Princess: Neuro Linguistic Programming
merupakan materi seminar berdurasi tiga hari yang diedit oleh Steve Andreas. Pendiri
Real People Press ini sejatinya seorang Gestalt Therapist. Pada awalnya—seperti pengakuannya dalam kata
pengantar, ia sangat tertarik sekaligus skeptis ketika pertama kali
diperkenalkan dengan NLP. Karena apa? Inilah pengakuannya.
“I had been heavily
conditioned to believe that change is slow, and usually difficult and painful.
I still have some difficulty realizing that I can usually cure a phobia or
other similar long-term problem painlessly in less than an hour—even though I
have done it repeatedly and seen that the results last.”
Pada masa awal tersebut, NLP belum diterima secara luas
oleh Psikolog, Psikiater atau golongan yang disebut secara general ‘terapis’
oleh penulis. Hal ini mungkin disebabkan kebanyakan terapis tidak
percaya—seperti Andreas tadinya, bahwa perubahan atau kebebasan dari berbagai
gangguan misalnya, fobia dapat berlangsung dengan cepat dan efeknya permanen. Bandler dan
Grinder tidak tinggal diam saja, pembaca akan menemukan berkali-kali kritikan
sinis mereka selama seminar 3 hari tersebut tercatat lengkap. Suatu kali,
salah-satu peserta (kemungkinan besar adalah seorang terapis) berkomentar: “You guys are stereotyping a lot of people
here!”
Sesuai
dengan durasi seminarnya tiga hari, buku inipun dibagi atas tiga bagian:
I.
Sensory Experience:
Representational System and Accessing Cues
II.
Changing Personal
History and Organization: Anchoring
-->
III.
Finding New Ways:
Refraining
I.
Pengalaman Inderawi: Sistem Representasi dan Petunjuk
Pengaksesan
Meskipun judul bagian pertama adalah pengalaman inderawi
(sensory experience) sebagai sistem yang merepresentasikan dunia di sekeliling
kita dan bagaimana orang memberikan petunjuk-petunjuk (cues) mengakses informasi bawah sadar (unconscious), pembaca yang belum familier dengan NLP tidak akan
mendapatkan penjelasan terperinci. Kedua pemateri seakan-akan berbicara kepada
peserta yang sudah memiliki pengetahuan kognitif tentang pikiran sadar
(conscious) dan bawah sadar (unconscious)
serta sudah sering melakukan terapi (mungkin Gestalt Therapy). Sebagai modeler
yang sangat menghormati unconscious mind,
keduanya langsung menunjukkan bagaimana model-model mereka: Milton Erickson, Virginia
Satir juga terapis-terapis yang efektif menggunakan pengetahuannya tentang representational system dan accessing cues ketika sedang menterapi
klien-kliennya. Menurut pengamatan keduanya, Erickson dan Satir sangat piawai menyamakan
predikat atau cara kliennya
mengungkapkan pengalaman bawah sadarnya. Pada saat yang sama keduanya juga
tidak lupa melemparkan kritik kepada terapis yang tidak mengerti bagaimana melakukan
matching.
Pada bagian ini, penulis memberikan penekanan pentingnya
terapis membangun rapport dengan kliennya, yaitu menyamakan (pacing) lead representational system (visual,
auditory, atau kinesthetic) yang digunakan kliennya. Menurut penulis/pemateri,
jika terapi tidak membawa hasil, terapis tidak seharusnya buru-buru menyalahkan
kliennya tidak bekerja sama. Jika apa yang dilakukan tidak memberikan hasil
yang diharapkan, lakukan dengan cara lain hingga berhasil.
Tentunya pengetahuan orang seputar inderawi bukanlah hal
baru, namun melalui kegiatan modeling
Bandler dan Grinder mengajarkan kita secara mudah memahami perbedaan pengalaman
yang didapatkan dengan melihat, mendengar dan merasakan serta bagaimana kita
merepresentasikan pengalaman-pengalaman tersebut.
Pembaca juga diingatkan agar dapat membedakan persepsi
dari halusinasi. Agar terapis dapat mempersepsi secara tepat—bukan berhalusinasi tentang
kliennya, maka pemateri menunjukkan bagaimana membaca petunjuk-petunjuk dari
gerakan bola mata saat seseorang sedang memikirkan suatu respon. Latihan yang
dilakukan Bandler dan Grinder waktu itu masih sama, yaitu dengan mengaukan
pertanyaan seperti contoh berikut ini: (1)
Lampu hijau pada lampu pengatur lalu-lintas terletak di atas atau di bawah
(merah kuning hijau atau hijau kuning merah)? Apa warna mata ibumu? Bagaimana
suara ayahmu ketika sedang marah? Bagaimana rasanya melewati jalan berdebu di
siang hari yang panas terik? Bagaimana rasanya berenang di air yang suam-suam
kuku? Tujuan mengajukan pertanyaan semacam itu adalah untuk mendapatkan
petunjuk dari perespon. Apakah matanya bergerak ke atas, kiri, kanan dan atau
tengah? Apakah bergerak ke kiri atau ke kanan sejajar telinga? Apakah bergerak
ke atas lalu ke kanan bawah?
Ketika kita memperhatikan orang lain mengakses informasi
dalam pikiran unconscious,
kemungkinan besar kita akan mendapatkan ada yang langsung mengarahkan mata ke
atas (mengakses ingatan gambar/imaji) lalu mengarahkan ke kanan bahwa
(merasakan kembali pengalaman). Kemungkinan ia mengarahkan mata ke kiri atau
kanan sejajar telinga (mengakses ingatan suara), lalu langsung ke kiri bawah (self-talk/auditory digital) dan ke kanan
bawah (merasakan kembali pengalaman). Kemungkinan lain adalah orang langsung
mengarahkan ke kanan bawah atau ke kiri bawah terlebih dahulu. Jika hasil
pengamatan tadi digabungkan dengan mendengarkan bagaimana orang tersebut
berbahasa (predikat yang digunakan apakah inderawi visual, auditory atau
kinesthetic), maka sebagai terapis, penjual ataupun komunikator secara umum,
kita dapat melakukan matching yang
tepat, juga memahami bagaimana ia beroperasi secara unconscious.
Apakah accessing
cues berhubungan dengan hemisphere otak kiri dan kanan? Bandler dan Grinder
(waktu itu) tidak merasa bermanfaat untuk mengetahuinya. Mereka juga membuat
sebuah model yang disebut “happy face” untuk menunjukkan arah gerakan mata; ke
kanan atas (kontruksi imaji), kiri atas (mengingat imaji); sejajar telinga bila
ke kiri mengingat suara dan kanan konstruksi suara. Sedangkan kanan bawah
merasakan atau mengalami kembali pengalaman kinesthetic dan kiri bawah self-talk.
Selain itu, ingatan akan suatu pengalaman atau munculnya
suatu emosi dapat pula muncul dari luar (eksternal) ataupun internal.
Keterampilan lain yang perlu dilatih seorang komunikator
adalah cakap beroperasi secara uptime
seperti ketika data sedang diinput ke komputer
(komputer sebagai model yang digunakan dekade tersebut belum multi-tasking, kalau sedang input data,
tidak dapat mencetak, membuka fail lain atau mendengarkan lagu seperti sekarang).
“Uptime” mencegah kita mengintervensi informasi yang kita terima dengan
pengalaman kita sendiri sehingga kita mendengar apa yang dikatakan klien dan
bukan yang ingin kita dengar sambil mengamati nonverbal cues lain.
Pada bagian ini pembaca akan mendapatkan 2
presupposition yang penting pula; yang pertama: “The meaning of your
communication is the response that you get”. Kedua: “If you are not getting what you want,
change your behavior (do something different)”. Tentu saja untuk berkomunikasi
dengan baik, mengajukan pertanyaan dengan kata atau kalimat yang tepat
menentukan pula hasil yang kita dapatkan. Menguasai keterampilan pola-pola yang
disebut Meta Model merupakan salah-satu
faktor sukses.
Selain beberapa latihan dasar mengobservasi accessing cues, Bandler/Grinder juga
mendeskripsikan pengalaman mengatasi masalah fobia dengan melakukan
“tumpah-tindih” sistem representasi. Walaupun pembaca tidak akan menemukan kata
sub-modalities dalam buku ini, namun kita sudah diperkenalkan dengan asal suara,
sub-kenesthetic (perbedaan antara tekanan, berat, dan perasaaan).
II.
Mengubah Sejarah Hidup Pribadi dan Orgaisasi: Menjangkar
Pada hari kedua (kita membacanya pada bagian kedua buku
ini), Grinder dan Bandler menjelaskan
serta mendemonstrasikan teknik mirroring.
Penulis menjelaskan bahwa mirroring pada intinya adalah apa yang
kebanyakan orang sebut rapport. Anda
dapat meniru ekspresi wajah, posisi duduk atau berdiri, gerakan-gerakan, kedip
mata, nafas, sintaks, predikat yang digunakan, nada suara ketika berbicara dan
sebagainya. Ketika Anda meniru (menyamakan) sebenarnya Anda sedang menyamakan
pengalaman inderawinya.
Cara lain untuk menyamakan non-verbal dapat dilakukan
mengganti satu kanal non-verbal dengan kanal non-verbal lainnya disebut cross-over mirroring. Contoh: Anda ingin
menyamakan pengalaman seseorang melalui nafasnya, Anda menggerakkan tangan sewajarnya,
naik dan turun seperti nafasnya. Jadi sama-sama menggunakan kanal kinesthetic.
Cara kedua “cross-over” menggunakan kanal sistem representasi berbeda, misalnya
saya menyamakan nafas Anda (gerakan naik turun dada Anda) menggunakan nada
suara saya, jadi kinesthetic-auditory.
Pada bagian kedua ini, penulis memberikan beberapa
contoh menggunakan jangkar (anchor).
Apa yang didemonstrasikan kedua pencipta NLP tersebut dapat diidentifikasikan
ke dalam beberapa teknik NLP muktahir seperti: Resource Anchoring; Chaining
Anchor; Collapsing Anchor. Harus diakui ketika belajar di kelas-kelas NLP
Practitioner Certification, saya dilatih (dan kemudian melatih) teknik-teknik
menjangkar lebih terstruktur dibandingkan tahun 1979. Dalam buku ini,
teknik-teknik tersebut juga belum diberi nama seperti tersebut di atas.
Mengubah sejarah (changing
personal history) juga telah berubah sebutan menjadi Phobia Cure, Swish
Pattern (dulu disebut Visual Squash), dan Scramble Pattern. Tampaknya para
pengembang NLP seperti Robert Dilts dkk telah melakukan penyempurnaan yang
menggampangkan. Bahkan Scramble Pattern yang diperkenalkan Tony Robbins melalui
NAC (bukan NLP).
Sebagai jenius di bidang terapi dan modeler hebat, Bandler dan Grinder mendemonstrasikan fobia berat
sekalipun dapat diatasi dengan mudah, cepat dan efektif. Begitu cepat dan
efektifnya sampai-sampai keskeptisan seseorang dapat menghancurkannya. Saya
merasa perlu mengomentari di sini, bahwa seperti yang saya pelajari dan
praktekkan, terapi NLP dapat dilakukan free
content. Sebagai terapi kita tidak perlu tahu apa permasalahan yang sedang
dialami oleh klien atau orang yang sedang kita bantu. Seseorang dapat saja
mengatakan: “Setiap kali saya ingin melakukan Pink, X menghentikan saya.”
Seperti yang dijelaskan dalam buku ini, kita dapat memberi saran kepada orang
tersebut untuk bertanya kepada pikiran bawah sadarnya, apakah X bersedia
berkomunikasi dengan pikiran sadarnya? Bila klien mendapatkan sinyal
“bersedia”, maka ia dapat melakukan konfirmasi hingga benar-benar yakin bahwa X
bersedia berkomunikasi. Dengan berasumsi “setiap perilaku memunyai intensi
positif”, selanjutnya klien dapat berkomunikasi dengan bagian X-nya untuk
mengetahui intensi positifnya atau menciptakan lebih banyak kemungkinan
(pilihan-pilihan baru) berperilaku.
Bila kita membaca seluruh demo dalam buku ini, kita menyadari
Bandler dan Grinder menggunakan timeline
selain jangkar. Karena untuk mengubah sejarah hidup, mengatasi fobia klien diregresi
ke masa muda atau masa kanak-kanak. Klien keluar masuk kondisi hipnosis (trance) sesuai kebutuhan dan akan hal
ini penulis menjelaskan dengan meyakinkan bahwa hipnosis adalah fenomena alami.
Hal penting lainnya yang mereka ajarkan dalam seminar ini adalah bridging (sekarang disebut future pacing). Ini adalah satu dari
beberapa prosedur yang wajib dilakukan setiap terapi NLP. Setelah klien
mendapatkan hasil (outcome) yang
diinginkannya, dapatlah dikatakan ia telah “bebas” dari masalah yang selama ini
dirasakannya. Maka langkah terakhir yang wajib dilakukan adalah dengan satu
langkah ujian. Bila memungkinkan, contohnya saya pernah membantu seorang
peserta membebaskan diri dari takut atau merasa tidak nyaman berada di tempat
tinggi, kebetulan di tempat pelaksanaan pelatihan terdapat menara loncat tinggi,
saya memintanya naik ke atas untuk mengetahui apakah ia merasa nyaman? Bila
tidak dimungkinkan untuk melakukan pengetesan langsung, Bandler dan Grinder
meyakinkan kita bahwa pikiran unconscious
kita dapat melakukan simulasi. Jadi klien cukup masuk ke dalam trans dan
menempatkan dirinya dalam konteks yang sebelumnya selalu dihindarinya tersebut.
Mengingat judul bagian kedua ini turut menyinggung
“sejarah organisasi”, maka penting pula bagi kita untuk membahasnya meskipun
secara singkat. Pada usianya yang masih sangat belia, NLP—seperti halnya
sekarang, setengah baya, sudah menghadapi tantangan. Bandler dan Grinder merasa
orang bisnis lebih mudah mengapresiasi NLP dibandingkan para terapis. “The idea of generative change is really
hard to sell to psychologists. Business people are much more interested, and
they're more willing and able to pay to learn how to do it. Often we do groups
in which about half of them are business people, and half of them are
therapists.” (Halaman 191). Organisasi sebagaimana halnya individu merupakan
sebuah sistem yang sering mengalami konflik tanpa disadari secara conscious apa penyebabnya. Untuk
membantu sebuah organisasi beroperasi efektif, Bandler dan Grinder menggunakan
pendekatan yang sama seperti halnya ketika mereka membantu klien individu.
III.
Menemukan Alternatif Baru
Bandler dan Grinder memulai bagian ketiga buku ini
dengan beberapa presupposition menarik. Pertama: “Better have choice than no
choice”. Presupposition ini penting bagi
NLP Therapist ataupun NLP Practitioner, sebab alternatives atau choices
dapat diciptakan dan setiap orang kapabel untuk itu, dan kemampuan kita ini
didukung Presupposition berikutnya: “People
already have the resources they need in order to change.” Namun, para guru
besar NLP ini menekankan bahwa pilihan-pilihan baru yang kita butuhkan adalah yang
berasal dari pikiran bawah sadar. Jika kita melakukan terapi tugas kita adalah
membantu klien mendapatkannya dari pikiran bawah sadarnya. Bukan sesuatu yang
dipikirkan menurut logika—atau halusinasi (?)
Pada bagian ini, pembaca disajikan catatan atau laporan
pandangan mata bagaimana kedua pencipta NLP memperagakan suatu teknik yang
waktu itu disebut six steps reframing (sekarang disebut Parts Integration atau
Negotiation).
Reframing Outline
(1) Identify the
pattern (X) to be changed.
(2) Establish communication with the part responsible
for the pattern.
(a) "Will the part of me that runs pattern X
communicate with me in consciousness?"
(b) Establish the "yes-no" meaning of the
signal.
(3) Distinguish between the behavior, pattern X, and the
intention of the part that is responsible for the behavior.
(a) "Would you be willing to let me know in
consciousness what you are trying to do for me by pattern X?"
(b) If you get a "yes" response, ask the part
to go ahead and communicate its intention.
(c) Is that intention acceptable to consciousness?
(4) Create new alternative behaviors to satisfy the
intention. At the unconscious level the part that runs pattern X communicates its
intention to the creative part, and selects from the alternatives that the
creative part generates. Each time it selects an alternative it gives the
"yes" signal.
(5) Ask the part "Are you willing to take
responsibility for generating the three new alternatives in the appropriate
context?"
(6) Ecological check. "Is there any other part of
me that objects to the three new alternatives?" If there is a
"yes" response, recycle to step (2) above.
Perubahan nama dan prosedur ini mungkin penting
disebabkan esensinya tidak hanya perubahan, namun juga mengakurkan pikiran conscious dan unconscious sehingga terjadi integrasi yang membawa sinergi. Tidak seperti sebagian NLP Practitioner, saya
kurang nyaman dengan Parts Negotiation seolah-olah seseorang terpisah-pisah
atas beberapa parts (bagian-bagian) yang saling bertentangan. Sebenarnya
pikiran bawah sadar tidak pernah berkonflik dengan pikiran sadar. Pikiran bawah
sadar berusaha mengirimkan sinyal kepada pikiran sadar, hanya saja pikiran
sadar tidak cukup kompeten untuk menangkapnya. Frekuensi sedang berbeda dan
antenna pikiran sadar terlalu pendek. Hal penting untuk dilakukan adalah
menemukan outcome yang diinginkan
pikiran bawah sadar dan menghentikan pikiran sadar untuk berfokus pada masalah
atau problem yang sedang dirasakan.
Dalam hal ini, Bandler dan Grinder menjelaskan secara
terperinci mengapa penting berfokus pada outcome
atau desired state dan bukannya
berusaha menghantam atau membumihanguskan problem. Perubahan yang dicapai
dengan cara ini mereka sebut generative
change (perubahan yang hidup—mungkin pula, menurut saya—terus berkembang). Sebagai
seorang NLP Trainer, saya akan selalu mengingat untuk bertanya kepada orang
yang datang dan mengatakan: “Saya takut menuruni tangga, “saya sering bermimpi
buruk”, “saya tidak bisa tidur”, “saya kegemukan” dan seterusnya. “Apa yang
Anda inginkan?” Ini merupakan prosedur pakem yang diciptakan Bandler dan
Grinder yang akan terus saya junjung tinggi. Oya, kedua pencipta NLP tidak
mencantumkan presupposition yang mewakili pandangan mereka terhadap problem dan
outcome. Mungkin mereka ingin
memberikan kesempatan kepada pembaca?
Seminar tiga hari itupun diakhiri dengan pesan-pesan
metaforis menarik; tentang seekor beruang di kebun binatang, Don Juan dan
Carlos (tokoh fisik ciptaan Carlos Castaneda). Sebagai ahli menyulap bahasa,
mereka mengubah masihat yang sebenarnya dikatakan Juan kepada Carlos: “If at any point you discover yourself
hesitating, or being incongruent, or putting off until tomorrow something you
could try now, or just needing some new choices, or being bored, glance over
your right shoulder (aslinya Juan
mengatakan bahu kiri) and there will
be two madmen there (aslinya: death
atau kematian), sitting on stools,
insulting you.”
Saya tidak pasti siapa, tapi orang ini pernah
mengatakan: “Jika kamu memberikan komentar atau like tanpa membaca hingga baris terakhir, maka artinya kamu tidak
membaca seluruh tulisan dan itu artinya kamu kehilangan sebuah kesempatan
belajar.”
Comments
Post a Comment