Batu Karang Bersuling
Aku sedang memancing di laut, tidak jauh dari rumah. Saat itu pantai yang tidak berpemandangan menakjubkan indahnya itu sedang sepi. Sejak tadi hanya satu makhluk hidup lain yang kulihat, yaitu seekor elang laut sedang mencanda angin di angkasa. Tapi aku tidak merasa mendapatkan kawan. Ketika senja menjelang dan aku hendak pulang, tiba-tiba aku mendengar suara seruling yang sangat indah. Aku menghentikan langkah, menahan nafas dan mencari sumber suara. Tetapi tidak ada siapa-siapa selain diriku.
Suara seruling itu sungguh indah. Belum pernah aku mendengar suara seruling yang demikian indah. Aku lalu mendudukkan diri di atas sebongkah batu untuk menikmati suara surgawi ini. Hingga mentari hampir menghilang di tepian cakrawala, aku menyadari sumber suaranya, sebab sinar terakhir surya hari ini memperlihatkan lubang-lubang pada batu karang yang menjulang. Aku segera mendekat, dan benar saja, suara seruling yang indah itu berasal dari batu karang itu.
Akupun memeriksanya dan, ternyata sisi batu karang yang menghadap selatan lubang-lubangnya lebih lebar dibandingkan yang menghadapi sisi utara. Dan saat itu angin sedang bertiap dari utara. Menyadari telah menemukan sebuah fenomena yang dapat mencapai viral, akupun merekam suara surgawi itu untuk dipasang di IG, dan FB.
Dugaanku terbukti benar! Hanya dalam waktu kurang dari 24 jam, vlog ku sudah dilihat lebih dari 350.000 orang di sosial media, 52 kali dibagikan dan disukai lebih dari 200 ribu orang. Jantungku hampir meledak menanggung kebahagiaan. Keesokan harinya, aku tak sabar menanti selesainya jam kantor, sebab aku ingin cepat-cepat berlari ke pantai untuk menikmati suara seruling indah itu. Aku memperkirakan angin dari utara akan bertiup seiring pasangnya air laut.
Alangkah kagetnya aku ketika akhirnya tiba di pantai. Ternyata tidak ada suara seruling yang mendayu-dayu, mengalun rasa dan menentramkan gelisah. Yang kutemui justru kerumunan massa dengan kamera di tangan. Bahkan ada pula beberapa stasiun televisi sedang menyiapkan siaran langsung. Wah! Kesempatan besar yang tak boleh dilepaskan! Pikirku. “Aku harus menyatakan diri bahwa akulah penemu peniup seruling alami ini.” Maka aku pun mendekati reporter dari stasiun nasional ternama.
“Mas, aku adalah orang yang pertama kali menemukan batu karang ajaib ini dan menayang video yang viral.” Kataku sambil mengulurkan tangan kepada reporter yang tampak sedang sibuk mengetuk gawai canggih di tangannya.
“Oya, benar, bisa tolong menceritakan bagaimana bapak menemukan batu karang yang bisa mengeluarkan suara seruling ini?” Reporter itu menjabat tanganku erat-erat.
“Apa bisa wawancara live?” Tanyaku masih dengan ambisi tampil di layar tivi untuk pertama kalinya.
“Akan kita rekam untuk disiarkan nanti malam.” Jawabnya.
“Oh, begitu…?!” Aku tidak mau langsung mengiyakan. Celingukan aku berharap stasiun tivi saingannya mau melakukan siaran langsung. Tetapi, tiba-tiba aku sudah dikerumuni orang-orang dengan berbagai alat perekam gambar dan suara di tangan. Sepertinya setiap orang ingin merekam apa yang akan kuucapkan.
“Tenang! Tenang! Kalau ribut-ribut begini suara serulingnya tidak akan terdengar!” Teriak aku. Untuk sementara keinginan eksis harus kutangguhkan.
“Baiklah. Tapi apakah bisa bapak mengarahkan kami ke tempat di mana suara seruling akan jelas terdengar?” Tanya seseorang.
“Oh, ikut aku!” Kataku sambil menerobos kerumunan. Dalam waktu singkat akhirnya semua berbaris cukup rapi di belakangku. Aku berjalan ke tepian pantai di mana aku pertama kali mendengar suara seruling itu.
“Nah, di sinilah aku pertama kali mendengar suara yang luar biasa indah ini. Asalnya ternyata dari batu karang itu.” Kataku sambil menunjuk batu karang yang diciptakan angin selatan.
Mendengar itu orang-orang berlarian mendekati batu karang yang sekilas tampak sangat biasa. Tetapi, mereka tidak peduli bentuknya, yang penting menjadi orang yang pertama berswadaya foto di depannya. Tidak ada seorangpun peduli padaku lagi, apalagi berniat mewawancarai. Setiap orang sibuk mengarahkan kamera ke arah batu karang itu.
Selain merasa terabaikan, aku juga mulai merasa khawatir. Angin tidak berhembus seperti kemarin. Berhembus pun, keberisikan kerumunan ini akan menyebabkan kemerduannya tidak terdengar. Aku berteriak-teriak meminta orang-orang diam, tetapi siapa yang peduli? Aku kalah suara.
Keriuhan seperti itu berlangsung hingga sinar terakhir senja hendak melenyap. Dan dalam keremangan itulah mereka teringat kembali maksud hati mendengar suara seruling yang keluar dari batu karang. Mendadak mereka bersenyap suara, yang satu mengingatkan yang lain agar tidak bersuara dengan menempelkan telunjuk di depan bibirnya. Detik berlalu menjadi menit, dan menit menjadi jam. Gelap malam telah menghapus garis cakrawala. Sekitar tempat kami berada mendapat terang dari lampu-lampu kamera yang sengaja dinyalakan. Namun, tiada juga angin meniup seruling batu karang.
“Orang ini pembohong! Hoaks!” Tiba-tiba seseorang berteriak menggagetkan keheningan malam yang masih muda itu.
“Iya nih! Bohong!” Sambut yang lain.
“Cie…ngerjain kita dia!” Suara lain.
“Penipu!” Bentak seseorang yang berdiri di dekat diriku.
“Dasar penipu….”
Teriakan segera menggemuruh. Keringat yang melengket baju tiba-tiba terasa dingin. Aku ingin cepat-cepat berlalu dari tempat itu, namun aku ingat, aku tidak berdusta dan video yang kupasang di sosmed bukan hoaks.
Dari sudut mata aku melihat awak media meringkas peralatan dan naik ke mobil masing-masing. Belum tahu harus berbuat apa ketika seseorang menjerembabkan tubuhku ke atas tanah. Beberapa pasang sepatu menendang tubuhku untuk melampiaskan kekecewaan. Aku tengkurap tanpa daya, hanya berusaha melindungi kepalaku dengan sepasang tangan hingga badai amukan berlalu. Hingga semua orang berlalu dan tinggallah aku sendiri. Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuh, aku menelentangkan tubuh. Pantaskah aku menerima semua ini? Tanyaku dalam kalbu yang tentunya bertemu jawaban bisu. Kupejamkan mata karena tak kuat memandang kedip gemintang.
Entah berapa lama hening berlangsung hingga akhirnya suara seruling yang begitu jernih, merdu mendayu-dayu mengisi relung-relung hatiku dan mengelus setiap lembar syarafku menari-mari di kesunyian malam. “Apakah aku bermimpi?” Kutepuk pipi sendiri, kucubit tangan sendiri. Ah, sakit. Jadi aku tidak bermimpi. Kembali kudengarkan keindahan nada-nada seruling yang menarik jiwaku untuk menari bersama cumbuan ombak di kaki batu karang berlubang tujuh puluh tujuh itu.
Comments
Post a Comment